Maret 2012
Di siang yang pijar,
aku duduk terdiam di sebuah kursi peron ini. Lagi. Kursi yang terbuat dari besi,
berwarna putih, yang letaknya tepat di sebelah anak tangga. Di kursi peron ini,
aku menunggu keretaku datang. Tiba-tiba, kilometer jarak menghampiriku dan
mengajakku kembali ke masa itu---seperti de
javu, dua tahun yang lalu. Masa yang seharusnya telah hilang dari
ingatanku. Masa yang seharusnya sudah kalah tergerus arus waktu.
Di stasiun inilah,
kenangan manis sempat terukir. Namun di stasiun ini pula, aku merasakan perih,
tiap kali aku menginjakkan kaki kembali di kota ini---Malang.
Aku termasuk orang yang
mempunyai sifat pelupa. Tetapi aku masih ingat, satu per satu kisah yang
tersusun dalam puzzle cerita di
stasiun ini. Cerita tentang aku dan kamu—dulu, saat menjadi kita. Kita yang kala
itu sangat membenci jarak---yang menjadi musuh kita. Kita yang masih saling
berbagi rindu.
Aku sempat berpikir,
seandainya tak ada jarak, mungkin kita masih bisa saling menguatkan. Mungkin,
kita masih bisa menikmati setiap inchi jejak-jejak rindu yang hadir. Dan
mungkin, luka itu tidak akan pernah ada. Mungkin.
“Udahlah
Fir, waktu yang akan menyembuhkan segala luka. Kamu nggak usah terus-terusan
naif kayak gini. Percaya deh,” nasehat sahabatku di
suatu senja.
Aku hanya bisa tersenyum
dan mencoba memahaminya. Dalam hati, ada semacam keinginan untuk mempercayai
kata-kata itu. Aku ingin menjadikannya doktrin atau semacam jargon penyemangat untuk
kusimpan di otak sekaligus di hatiku. Namun tanpa disadari, kadang justru waktulah
yang mampu menguak luka lama itu. Waktulah yang terus saja menggangguku dengan
memunculkan ingatan-ingatan yang tak pernah ingin aku ingat. Dan mungkin,
kadang waktu jugalah yang kadang membuatku menjadi sangat naif.
***
Februari 2010
Sekitar pukul 13.40 WIB
aku sampai di stasiun Malang Kota Baru. Aku duduk di kursi peron; menunggumu.
Dan tentu saja aku tahu, butuh waktu yang tidak sebentar untuk menunggumu kali
ini.
Entah sesering apa aku
melirik jam di tangan kiriku, menatapnya dengan cemas. Entah sudah berapa kali juga
aku mengecek layar ponselku, mencoba menghubungimu dan mengirimkan beberapa
pesan singkat. Aku mulai bosan.
Hari semakin sore.
Udara dingin perlahan menyeruak masuk menusuk kulit dan menembus sweater hitam
yang kupakai. Namun, tanda-tanda kedatanganmu belum juga tampak.
Pip
pipp... ponselku berdering, mengirimkan pesan masuk. Aku
segera membacanya.
“Tadi
hujan dan Mas terjebak macet. Ini masih on the way. Adek gapapa kan? Makan dulu
gih, biar nggak masuk angin.” Segera kubalas pesan
singkat itu, mengatakan kalau aku baik-baik saja.
Jarak Surabaya – Malang
memang tidak terlalu jauh, namun apapun yang tidak terduga bisa saja terjadi di
sebuah perjalanan, bukan? Aku mendesah pelan, “semoga dia segera datang dan selamat
sampai tujuan,” batinku.
Aku ingat, kita sempat
bertengkar kecil saat itu—sebelum rencana pertemuan kita. Kita sempat tidak
berbicara dan berhenti saling menghubungi satu sama lain. Kita yang terpisah
jarak dan waktu. Namun entah bagaimana, akhirnya kita sama-sama mengalah.
Kita---mungkin, mempunyai hasrat yang sama untuk tetap saling merindu hingga
akhirnya ingin bertemu. Aku dan kamu akhirnya menyempatkan waktu untuk bertemu di tengah
kesibukan kita masing-masing.
Senja akan segera
menjemput malam, dan aku masih di stasiun ini. Masih menunggumu. Tak kuhiraukan
lagi pegawai PJKA yang menatapku penuh tanda tanya, yang sedari tadi tidak juga
beranjak dari kursi peron, padahal kereta terus datang dan pergi. Aku mengawasi
sekelilingku dan menyadari bahwa ternyata hanya ada beberapa orang di sana,
termasuk aku. Stasiun menjadi sangat sepi jika tidak ada jadwal keberangkatan
kereta. Hawa dingin semakin membuatku menggigil diantara kebosanan dan sepi.
Selama kurang lebih tiga
jam aku menunggumu, waktu terlama dalam hidupku untuk menunggu seseorang. Jengah,
lelah, hingga ingin marah, sebelum akhirnya aku mendengar suaramu yang
meneleponku, mengabarkan bahwa kamu telah sampai. Perasaan lega, haru, dan
senang bercampur jadi satu. Akhirnya aku dan kamu dipertemukan kembali, di
stasiun ini. Aku menamakannya ruang rindu, ruang aku dan kamu bertemu.
***
Perpisahan; adalah
salah satu moment yang paling kubenci. Di dalamnya selalu ada air mata,
perasaan haru, serta kehilangan. Iya, aku dan kamu akan terpisah lagi. Kita
kembali di ruang ini—stasiun ini. Tanganmu meraih tanganku, memelukku, dan kemudian
kamu mengecup keningku. Tak terasa, sudut mataku telah basah.
Satu minggu pertama,
dua minggu, satu bulan, dua bulan... tanpa sadar aku jadi rajin menghitung
waktu. Barangkali, jarak mempunyai hak untuk menjauhkan. Menjauhkan aku darimu,
pun sebaliknya. Jarak menjauhkan kita. Dari selalu, menjadi sering, kemudian
jarang, hingga tidak pernah sama sekali. Kita hanya berhenti saling bicara. Iya,
kamu tidak pernah lagi mengirimkan kabar untukku. Kamu menghilang. Aku
kehilangan.
***
Maret 2012
Aku masih duduk terdiam
di sini---di stasiun Malang Kota Baru, menunggu kereta datang.
“Sayang,
kamu udah nunggu lama ya? Sori nih telat. Keretanya belum datang kan?”
tiba-tiba muncul suara yang mengagetkanku dan segera membuyarkan lamunanku. Aku
menatapnya sejenak, menggeleng, kemudian tersenyum padanya.
“Ah,
syukurlah.”
Terdengar dia menghela
napas pelan. Aku segera menggeserkan badanku, memberinya ruang untuk duduk di
sampingku. Kulihat dia merogoh isi tasnya, dan mengeluarkan sesuatu.
“Oh
iya, nih buat kamu,” katanya seraya menyodorkan dua batang
cokelat kesukaanku. Bola mataku tampak membesar. Girang. Aku tersenyum lagi
padanya, kali ini lebih lebar.
“Makasih
ya, Sayang,” jawabku sambil berkeling manja
padanya--- lelakiku; Bisma. Lelaki yang telah menikahiku dua bulan yang lalu.
Dan kali ini, aku kembali berada di ruang rindu ini, tidak lagi
sendiri---berdua. Kini, aku telah berdamai dengan waktu dan hatiku. Mencoba
mengikhlaskan masa lalu dan melupakan segala tentangmu. Membuang ruang rindu
aku dan kamu; dulu. Kini; tidak ada salam perpisahan, tidak ada pelukan selamat
tinggal, dan tidak ada isak tangisan seperti dulu; hanya ada senyuman.*
*ditulis untuk project #Ruang