Rabu, 25 April 2012

Pria Tanpa Kata

di 4/25/2012 01:29:00 AM


Saya melihat jam di layar ponsel. Jam 19.30 WIB. Sebentar lagi pria itu akan muncul. Dan sesaat kemudian saya melihatnya. Seperti biasa, berjalan dari arah timur ke barat, dengan jaket hitam, dan sarung, dengan ekspresi muka yang datar, tatapan mata kosong. Hanya diam. Sama, setiap malam. Setiap hari.

Beberapa orang selalu menutup hidung, dengan sebelah tangan mereka, tiap kali pria itu berjalan melintasi mereka. "Aku nggak tahan sama baunya. Dia nggak pernah mandi." kata seorang ibu-ibu yang duduk di sebelahku. Saya sendiri hanya bisa menatap iba ke arah punggungnya yang berjalan setelah melewati gerombolan kami. Hidungku kadang tidak terlalu peka dengan bau-bauan yang tidak terlalu menyengat. Jadi, selama saya tidak terlalu dekat dengan asal bau itu, hidung saya tidak bermasalah.


Dia--pria itu, kutaksir umurnya sekitar 40-an. Kulitnya kuning, tapi tidak terawat, cenderung kumal. Dia--gosipnya, depresi karena ditinggal istri dan anaknya. Konon, menurut cerita yang saya dengar dari para tetangga yang selalu membicarakannya tiap kali dia lewat, dulunya tidak seperti ini. Dia hanya stress biasa saat ditinggal istrinya yang lebih memilih laki-laki lain. Dia masih bisa bertahan dan mempunyai semangat untuk hidup karena masih ada putri semata wayangnya. Tapi, ketika putrinya beranjak dewasa--entah bagaimana, putrinya ikut pergi meninggalkannya sendiri, ikut ibunya. Pria itu, semakin depresi dan kehilangan semangat untuk hidup. Dia hanya diam dan diam.


Pernah, satu waktu saya lewat depan rumahnya. Seketika aku mengelus dada, tidak tega. Saya membayangkan bagaimana kalau itu terjadi pada saya atau orang lain yang kukenal. Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup dan tinggal di rumah kecil, yang hanya berdinding bambu, berlantai tanah, dengan bagian kanan, kiri, dan entah mana lagi, penuh dengan lubang besar, karena sudah lapuk dimakan hewan pemakan kayu. Rumah itu tidak ada listrik dan kamar mandinya, dan mungkin di dalamnya hanya ada beberapa barang yang mungkin sudah tidak layak.


Bagaiman mungkin orang bisa hidup benar-benar sendiri seperti itu, tanpa pekerjaan, dan tentu saja tanpa makanan. Tetangga pria itu dulunya masih sering memberi bantuan kecil, seperti makanan--mungkin. Tapi setelah dia depresi seperti itu, dia hanya diam dan diam. Tanpa kata. Tanpa suara. Tapi tak pernah mengamuk, seperti kebanyakan orang gila yang lain.


Setiap malam di setiap harinya, dia berjalan ke arah barat--ternyata ke rumah saudaranya. Iya, ternyata dia masih mempunyai saudara. Saudara kandung--adiknya. Pria itu pergi ke rumah adiknya, hanya untuk meminta sesuap nasi, untuk mengisi perutnya. Untuk menyambung hidupnya.


Yang membuat saya heran, lantas mengelus dada; bagaimana mungkin seorang adik kandung tega membiarkan kakak kandungnya sendiri hidup seperti itu. Bukan lantas saya nyinyir atau apa, tapi saya merasa kasihan tapi sekaligus tidak bisa berbuat apa-apa. Saya pikir, alangkah lebih baik kalau adiknya itu merawat kakaknya. Menyuruhnya untuk tinggal di rumahnya dan memberi makan. Toh, si pria itu tidak pernah berulah macam-macam. Dia--setahu saya dan tetangga saya, hampir tak pernah berbicara, sepatah kata pun. Mungkin, jika adiknya mau sedikit lebih peduli dan sayang pada kakaknya, dia akan terlihat sedikit lebih normal dari sekarang. Dan mungkin saja, dia akan mau berkomunikasi dan sehat kembali. Naudzubillah...


Memang, di dunia ini tak ada yang sempurna. Tak ada yang abadi. Tapi, memang seperti itulah hidup, bukan? Semuanya bisa berubah. Umur, tinggi badan, cuaca, suasana, waktu, apa pun itu, tak terkecuali. Meminjam kata-kata dari @falafu, bahwa apa yang paling cepat berubah di dalam hidup ini adalah perasaan, adalah hati. Itulah kenapa, kita sering mendengar orang mengatakan; " Isi hati manusia, siapa yang tahu." Iya, kita tidak akan pernah tahu apa isi hati seseorang, apa yang dirasakannya. Perasaan dan hati seseorang cepat sekali berubah tanpa pernah kita tahu waktunya. Dan mungkin, yang terjadi di sini adalah perubahan sayang dari seorang adik kepada kakaknya menjadi tidak sayang, sebelum akhirnya menjadi tidak peduli (lagi).


Dan apa dia atau mereka salah dengan semua perubahan itu? Tidak. Setiap orang punya cara masing-masing untuk menjalani hidup mereka. Setiap yang terjadi dalam diri manusia bukannya tanpa alasan, bukan?
Saya tidak berhak menyalahkan atau men-judge orang lain atas apa yang dilakukannya. Saya hanya ingin, semoga saya dan mungkin Anda, yang mau menyempatkan diri untuk membaca tulisan basi saya ini, tetap peduli dengan orang lain, terlebih itu saudara kita. Karena kita tak pernah bisa hidup sendiri, karena kita adalah manusia sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain, entah itu teman, saudara, atau keluarga. Dan semoga, kita selalu bisa menjaga hati kita.. 



0 komentar:

Posting Komentar

 

Danie's Microcosm Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei